Jumat, 12 Oktober 2012

TUGAS 1 ILMU SOSIAL DASAR SEBAGAI KOMPONEN MATA KULIAH DASAR UMUM

JAKARTA, KOMPAS.com - Pesawat terbang tanpa awak jenis Wulung hasil rekayasa Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi diterbangkan dari Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta, Kamis (11/10/2012). Hal itu tepat dengan pendaratan pesawat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dari Yogyakarta. Presiden pun bisa menyaksikan hasil rekayasa teknologi itu. 





"Perbedaan dengan uji coba sebelumnya, pesawat terbang tanpa awak (PTTA) Wulung ini sudah menggunakan teknologi autonomous, menggantikan sistem kendali jarak jauh (remote control),” kata Akhmad Rifai, Manajer Program Kegiatan Rancang Bangun PTTA dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).




Uji coba di Pangkalan Udara (Lanud) Halim Perdanakusuma berlangsung selama 20 menit, dari pukul 08.40 hingga 09.00. Uji coba disaksikan beberapa pejabat negara, seperti Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro bersama Menteri Riset dan Teknologi Gusti Muhammad Hatta, Kepala Staf TNI Angkatan Udara Marsekal Imam Sufaat, dan Kepala BPPT Marzan Azis Iskandar.




Pesawat dikemudikan melalui stasiun pengontrol (ground control station) dengan mobil minibus. BPPT memulai perekayasaan PTTA, sebelumnya disebut sebagai pesawat udara nirawak (PUNA), pada tahun 2000-2005.




Pada periode itu dihasilkan 10 prototipe dengan tiga model, yaitu Wulung, Pelatuk, dan Gagak. Mesin yang digunakan adalah Limbach buatan Jerman berbahan bakar Pertamax. Dalam uji coba waktu itu, selama satu jam penerbangan dibutuhkan sekitar 9 liter bahan bakar.




Wulung dan Pelatuk dirancang sebagai pesawat tanpa awak yang stabil agar mampu diberi berbagai muatan untuk beberapa tujuan. Misalnya, diberi muatan kamera untuk pemotretan atau perekaman video pada suatu area. ”Bisa juga diberi muatan flare untuk menciptakan hujan buatan,” katanya.




Menurut Rifai, flare berbobot 2 kilogram setara dengan 1 ton garam (natrium klorida) yang ditebar ke awan potensial untuk hujan buatan.




Rifai menambahkan, peredaman kebisingan suara dari pesawat tanpa awak Wulung tidak diprioritaskan. Berbeda dengan Gagak yang ditujukan untuk pesawat pengintai, peredaman suara mutlak dibutuhkan.




Hingga saat ini sudah dikembangkan PTTA jenis lain untuk pengintaian jarak pendek hingga jarak jauh, yaitu jenis Sriti, Alap-alap, dan Gelatik.




Saat mengamati uji coba Wulung, kemarin, Menristek Gusti Muhammad Hatta mengomentari, mesin pesawat tanpa awak Wulung masih terlalu bising. Gusti juga menilai, bahan fiberglass untuk badan pesawat kurang kuat. Adapun Menhan terlihat antusias mengamati jalannya uji coba Wulung.




Posisi koordinat




Rifai menjelaskan, sistem kerja autonomous pada jenis Wulung menggunakan perintah tujuan yang harus dicapai pesawat dengan menetapkan posisi koordinatnya. Setelah dicapai titik tersebut, pesawat bisa diperintahkan ke posisi koordinat lain atau kembali ke landasan. ”Ketika masih menggunakan remote control, pada jarak 5 kilometer, pesawat sudah tidak tampak,” katanya.




Sistem autonomous memungkinkan pemantauan kedudukan pesawat pada ketinggian dan koordinat tertentu. Kemudian, hasil pemotretan dan perekaman video dapat disaksikan seketika (real time) dari stasiun pengendali di darat.




”Manfaatnya penting untuk memantau wilayah perbatasan antarnegara,” ujar Rifai.




Saat diterbangkan dari Lanud Halim Perdanaksuma selama 20 menit, diperkirakan jangkauannya hanya mencapai radius 1.500 meter. ”Jangkauan terjauh yang pernah dicapai dalam uji coba sebelumnya adalah radius 73,4 kilometer,” tuturnya.




Menurut dia, dalam waktu dekat akan dilakukan kerja sama dengan Jepang untuk perekaman wilayah memanfaatkan kamera mutakhir dengan pesawat Wulung. Kamera mutakhir yang akan digunakan senilai Rp 1 miliar.




”Penerbangan kemarin sebetulnya penundaan dari yang direncanakan 28 September lalu,” kata Rifai.




Manfaatkan




Dalam sambutannya, Purnomo Yusgiantoro menyampaikan agar pihak-pihak terkait memanfaatkan teknologi dirgantara ini secara optimal. Peta jalan (road map) pengembangan PTTA untuk militer dan industri agar dibuat dengan jelas.




”Pengembangan pesawat terbang tanpa awak ini memiliki nilai ekonomis tinggi dan mampu mengurangi ketergantungan terhadap negara-negara produsen lain,” kata Yusgiantoro.




Sebenarnya PTTA sudah dibutuhkan sejak lama. Misalnya, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), menurut Kepala Pusat Data, Informasi, dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho, pernah meminta kepada BPPT agar bisa memanfaatkan salah satu PTTA itu untuk memotret kawasan yang dilanda banjir bandang di Sumatera Barat, November tahun lalu.




Namun, saat itu, PTTA belum siap dioperasionalkan. Pemotretan akhirnya dilakukan dengan pesawat terbang konvensional, yang tentu memakan biaya lebih besar.



Sumber : Kompas, jumat, 12 Oktober 2012